Judul Buku: Biografi Imam Abu Hanifah
Penulis: Dr. Tariq Suwaidan
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2013
Tebal: 348 Halaman
ISBN: 978-979-024-334-7
Peresensi: Imam Ghozeli *
Kompas, 29 Mei 2013
Tahukah anda bahwa Abu Hanifah salah satu dari
keempat tokoh Madzahibul al-Arba’ah termasyhur dan berkembang di dunia islam,
dulunya berprofesi sebagai pedagang! Seorang pedagang sekaligus seorang ulama,
seorang ulama sekaligus seorang pedagang! pasti semua terheran-heran ketika
mengetahui seorang ulama besar seperti Abu Hanifah pernah menggeluti dunia
wirausaha dalam sejarah hidupnya. Tetapi memang itulah faktanya, buku ini
membuktikan secara implisit sejarah kehidupan beliau. Bahkan tinta hitam
sejarah telah mencatat keunggulannya atas kewirausahaannya khususnya dalam
dunia dagang.
Masa kecil Abu
Hanifah berbeda dengan ketiga Imam fikih lainnya yaitu Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad. Pasalnya ketiganya memulai menimba ilmu sejak usia
dini, sedangkan Abu Hanifah tidak demikian. Ketika kecil beliau berprofesi
sebagai pedagang dan sering berlalu lalang, pulang pergi kepasar untuk
membiayai kehidupan keluarga.
Nama lengkap Abu Hanifah adalah al-Nu’man ibn Tsabit
ibn al-Zutha al-Farisi. Beliau dilahirkan di Kufah pada 80 Hijriah, kakeknya
Al-Nu’man ibn al-Marzuban masih memiliki hubungan dengan Amirul Mukminin Ali
ibn Abi Thalib. Beliau tumbuh di lingkungan keluarga pedagang di Kuffah,
sehingga tak heran jika keluarganya mengarahkan beliau untuk bergelut dibidang
yang sama. Tetapi, meski demikian beliau tetap memiliki kecenderungan rasional
intelektualnya sendiri.
Abu Hanifah, pedagang penuh akan sarat pengalaman
dan mengetahui seluk beluk pasar. Dengan jiwa keteladanannya, beliau mampu
membagi waktunya antara perdagangan, fikih, dan ibadah secara seimbang tanpa
mengalami tumpang tindih sedikitpun. Beliau hamba yang rajin menempelkan
keningnya di tempat sujud dan beribadah pada waktu malam, lalu menjalankan
transaksi-transaksi menguntungkan pada waktu siang dengan tidak menyalahi koridor-koridor
yang berlaku dalam fikih.
Selepas shalat subuh, beliau muthola’ah dan mengkaji
berbagai ilmu, mengumpulkan persoalan cabang ke cabang dan pokok ke pokok,
begitu seterusnya beliau lakukan secara konsisten.
Pandangan fikihnya terhadap harta dipengaruhi oleh
pandangan fikihnya terhadap dagang. Beliau memikirkan transaksi-transaksi jual
beli islam yang terkait langsung dengan perdagangan, dengan menggunakan pikiran
seorang pedaang yang ikut terjun didalamnya, yang mengetahui
kebiasaan-kebiasaannya, yang menguasai mu’amalah manusia didalamnya serta
mencocokkan literatur-literatur dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan apa yang
biasa di praktekkan oleh masyarakat pada umumnya.(Hal 241-242)
Dari ekserpsi paragraf diatas, dapat disimpulkan
bahwa selain menguasai dalam perdagangan Abu Hanifah muda juga pandai
memanajemen waktu yang dimilikinya. Terlihat jelas ketika beliau mendapati
waktu luang disela-sela kesibukannya berdagang, tak sedikitpun beliau
menyia-nyiakannya untuk bersantai, melainkan lebih memilih untuk menceburkan
diri berkecipung dalam kawah ilmu pengetahuan.
Pemikiran beliaupun mulai tergugah dan terbentuk
dalam satu paradigma yang kuat, ketika beliau menaruh perhatian besar pada ilmu
pengetahuan dan berbagai pendapat peninggalan para sahabat Irak. Hingga
menjadikan beliau berani berdialog dan berdebat dengan penganut agama dan
aliran yang berbeda. Semua itu dilakukan ketika beliau baru menginjak usia
remaja. Pilihan yang dilakukan oleh Abu Hanifah muda ini dilandasi oleh
meratanya sistem penyebaran ilmu agama di tangan para sahabat dan tabi’in pada
masa itu, di sisi lain dilandasi oleh keaktifan beliau ketika banyak mengikuti
perdebatan dan dialog dengan aliran-aliran yang menyimpang.
Beliau memiliki konsep yang jelas dalam pengambilan
hukum agama dari sumber-sumbernya. Dalam Tarikh Baghdad disebutkan sebuah
pernyataan yang dinukil dari Abu Hanifah mengenai konsep yang digunakannya,
yakni “Aku merujuk kitab Allah. Bila aku tidak menemukan (dasar hukum)
didalamnya, aku akan merujuk sunnah. Bila di dalam keduanya aku juga tidak
menemukan, aku akan merujuk perkataan para sahabat; aku akan memilih pendapat
siapa saja dari mereka yang ku kehendaki, aku tidak akan pindah dari satu
pendapat ke pendapat sahabat yang lain. Apabia didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi,
ibnu Sirrin, al-Hasan, al-Atha’, Sa’id ibnu Musayyab, dan sejumlah seorang yang
lainnya, dan mereka semua sudah berijtihad, maka aku akan berijtihad
sebagaimana mereka berijtihad”.(218)
Ketika membaca pernyataan tersebut, sepintas
teringat mengenai pernyataan dari Mu’ad bin Jabal, ketika Nabi Muhammad SAW
menanyakan tentang metode yang akan dilakukannya dalam penggalian sumber hukum,
sebelum Nabi mengutusnya ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim. Tak jauh
berbeda dengan metode yang dilakukan Abu Hanifah dalam proses penggalian hukum
untuk sebuah keputusan yang bijak.
Beliaulah Abu Hanifah, selain terkenal kewira’iannya
dalam mengambil keputusan, beliau juga dikenal sebagai pelopor pertama dalam
menyusun kitab fikih secara kelompok-kelompok dalam pengklarifikasiannya.
Diawali dari bab bersuci (taharah) kemudian disusul shalat dan seterusnya.
Hingga pada generasi ulama berikutnya metode ini diikuti oleh ulama-ulama yang
sangat familiar, seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari,
Muslim dan ulama lainnya.
Buku ini memberikan inspirasi kepada pembaca
mengenai nilai-nila moral yang terkandung didalamnya. Selebihnya
peristiwa-peristiwa buku ini disuguhkan dalam bentuk narasi singkat dan
dilengkapi gambar yang menarik sehingga membaca buku ini tidak akan mudah
merasa bosan. Membaca buku sejarah ini, layaknya menyelami lautan hikmah yang
dapat memotivasi kita, lebih-lebih bagi seorang pelajar.
KAMPUS SWASTA TERBAIK
BalasHapusKAMPUS SWASTA TERBAIK
KAMPUS SWASTA TERBAIK
KAMPUS SWASTA TERBAIK