Seandainya demokrasi di Indonesia seperti di
Amerika, Rhoma Irama sudah menjadi presiden, karena Rhoma pengumpul massa
terbesar (KH. Idham Chalid)
Judul:
Rhoma Irama : Politik Dakwah dalam Nada
Penulis:
Moh. Shofan
Penerbit:
Imania
Terbitan:
Pertama, Januari 2014
Tebal:
293 halaman
Tak ada yang meragukan
kelihaian Rhoma Irama dalam bermusik. Kiprahnya dalam musik dangdut
telah menuai banyak penghargaan. Namun, sebagian kalangan masih menyangsikan
kemampuannya dalam berpolitik. Musik dan politik dua hal yang berbeda, untuk
tidak mengatakan bertolak belakang. Oleh karenanya, pencapresan Rhoma Irama menuai
pro dan kontra.
Pihak yang kontra
menilai pengalaman politiknya terlalu dini untuk mencalonkan diri sebagai bakal
calon presiden, dan dimungkinkan tak ada partai politik yang tertarik untuk
mengusungnya. Apalagi latarnya artis, yang dianggap minim wawasan akademik dan
secara finansial juga tak terlalu menonjol. Namun, Partai Kebangkitan Bangsa
terlanjur telah memberikan kendaraan politik.
PKB menempatkan Rhoma
Irama sebagai salah satu bakal capres (setelah pemilu 9 April 2014 menjadi
cawapres), tentu bukan tanpa perhitungan politik dan tak mendengar ledekan
beberapa kalangan. Pakar komunikasi politik Effendi Ghazali mengatakan, Rhoma
Irama sebagai “Raja Dangdut” membawa keuntungan bagi partai pengusungnya (hlm.
252). Entah karena efek Rhoma Irama atau tidak, PKB pada Pemilu Legislatif 2014
–versi hitung cepat– bisa mengembalikan perolehan suara Pemilu 2004.
Raja Dangdut
Nama Raden Haji Oma
Irama memang cukup populer dan menjadi ikon dangdut, musik asli Indonesia.
Dangdut bisa tetap eksis hingga saat ini di tengah gempuran genre musik Barat
tak lepas dari peran Rhoma Irama. Musik dangdut dimungkinkan akan mengalami
nasib seperti keroncong andai Rhoma Irama tak melakukan revolusi. Berdirinya
Soneta Group yang beranggotakan delapan personel pada 11 Desember 1970 menjadi
awal perjuangannya.
Namun, perubahan bukan
tanpa aral dan rintangan. Keberanian Rhoma Irama merombak secara besar-besaran
dalam instrumen, irama, syair, lirik, performance, dan kostum orkes
Melayu (awal orkes dangdut) mendapat kecamatan dari penggemar dan penyanyi
Melayu dan rock (hlm. 70). Bahkan tak jarang syairnya berhadapan dengan ulama
(hlm. 108) dan negara (hlm. 125).
Ciri perubahan yang
dilakukan Rhoma Irama adalah instrumen tradisional orkes Melayu diganti
instrumen elektronik dengan memasukkan alat musik saksofon dan gitar listrik.
Dan memasukkan napas hard rock ke dalam komposisi, sehingga
irama yang mendayu berubah menjadi ketukan cepat. Dari segi performance,
kalau dulu orkes Melayu tampil dengan duduk, Rhoma bersama Sonetanya melakukan
dengan berdiri dan atraktif (hlm. 59).
Shofan menyebutkan,
lirik-lirik lagunya mencerminkan ciri-ciri karya sastra Angkatan Pujangga Baru,
yaitu: dinamis, agresif, progresif, dan selalu bergerak ke arah yang lebih
maju; bercorak aktif-romantik. Rhoma Irama meninggalkan gaya bermusik orkes
Melayu yang mengalun statis, melankolis, dan penuh dengan ratapan (hlm. 168).
Sikap akomodatif Rhoma
Irama terhadap perubahan membuat orkes dangdut yang pada awalnya hanya milik
orang-orang miskin dan marginal yang hidup di pelosok kampung kini digemari
lintas kelas sosial. Bahkan orkes dangdut mengalun hingga luar negeri. Tak
heran jika bakal calon wakil presiden PKB itu dielu-elukan fans fanatiknya dan
bisa memengaruhi serta mendongkrak suara masyarakat pemilih.
Capres
Sudah lebih setengah
abad bangsa ini merdeka dan telah tujuh kali berganti presiden, namun persoalan
yang melilit Indonesia tak kunjungan berkesudahan. Melihat kondisi masyarakat
yang semakin jauh dari cita-cita pendiriannya motivasi Rhoma Irama, setelah mengatakan
didesak sejumlah ulama yang tergabung dalam Wasilah Silaturahmi Asatidz, Tokoh
dan Ulama (Wasiat Ulama), tergerak terjun langsung mengelola, bukan hanya
bersuara melalui musik.
Jika ditelusuri, memang
banyak lagu-lagu Rhoma Irama yang bertemakan kebangsaan, seperti
multikulturalisme, pluralisme, HAM, empat pilar kebangsaan, dan korupsi –jauh
hari sebelum banyak orang membicarakannya-. Komitmennya kepada bangsa ini
tercermin dari lagu-lagu yang telah lama digubahnya. Dan seandainya sudah
diimplementasikan dengan benar, Indonesia akan lebih baik.
Kini Rhoma, tampaknya,
ingin menerjemah lagu-lagunya dalam aksi nyata, tak hanya sekadar aksi di atas
panggung. Rhoma mengaku sudah menyebabkan visi misi untuk Indonesia selama
puluhan tahun lewat lirik lagu-lagunya. Karenanya, Rhoma mengatakan visi
misinya sebagai capres tak jauh beda dari lirik-lirik lagu dangdut yang
dibawakan (hlm. 243).
Pria kelahiran
Tasikmalaya itu optimis akan menjadi Ronald Wilson Reagan (artis yang menjadi
Presiden Amerika Serikat ke-40) dan Joseph Ejercito Estrada (artis yang menjadi
Presiden Filipina) berikutnya di Indonesia. Rhoma mengaku sudah punya bekal
politik untuk memimpin negeri ini dengan pernah menjadi anggota DPR RI dari
Golkar pada tahun 1997 dan mengantarkan kemenangan PPP pada Pemilu 1977 dan
1982.
Buku Rhoma
Irama: Politik Dakwah dalam Nada penting dibaca untuk melengkapi
profil cawapres Rhoma Irama. Buku-buku biografi capres-cawapres yang menghiasi
rak toko buku perlu dibaca untuk menimbang kualitas seorang calon pemimpin
sebelum menjatuhkan pilihan kepada capres-cawapres tertentu pada 9 Juli nanti.
Yang tak kalah penting,
dengan gaya jurnalistik, Moh. Shofan menapaktilasi perkembangan musik di
Indonesia mulai zaman penjajahan hingga saat ini. Khususnya musik dangdut
yang kini telah dinyatakan sebagai musik khas negara-negara ASEAN. Buku setebal
293 halaman ini memang mengapresiasi musik dangdut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar