Penulis: Ahmad Fuadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Pertama Terbit: 2011
Jumlah Halaman: 473
Novel satu ini merupakan rangkaian kedua seri
Triologi Negeri 5 Menara. Jadi praktis tokoh utama pada kisah ini masih sama
dengan di buku pertamanya yakni, Negeri 5 Menara. Hanya saja, kisah yang ada di dalam bagian kedua ini lebih fokus
pada kehidupan dan konflik yang dialami si Alif. Dikisahkan, ia baru saja tamat
bersekolah dari Pondok Madani. Selepas dari pesantren, Alif dilingkupi banyak
cita-cita, salah satunya adalah melanjutkan pendidikan di bidang teknologi,
suskses seperti Pak Habibie dan kemudian hijrah ke Amerika Serikat. Namun
keinginan Alif tersebut tiba-tiba dijegal fakta bahwa ia tak memiliki ijazah.
Memang pada saat itu, pondok pesantren belum berwewenang untuk menerbitkan ijazah
layaknya sekolah yang disubsidi pemerintah. Tapi hal tersebut tidak
menggoyahkan cita-cita Alif. Ia kemudian berhasil memperoleh ijazah dengan
mengikuti ujian penyetaraan.
Selanjutnya, Alif kemudian ikut ujian UMPTN dan
berhasil kuliah di Bandung. Tepatnya di jurusan Hubungan Internasional. Meski
tidak berhasil masuk ke ITB, tapi bagi Alif tak mengapa. Ia tetap menjalani
kuliahnya dengan sungguh-sungguh. Meski ia sering mengalami masalah seperti
keuangan dan semacamnya. Awalnya Alif hampir menyerah, hanya saja ia kembali
teringat mantra “man shabara zhafira” yang artinya, siapa yang bersabar akan
beruntung. Ia memilih unutk berjuang dan bersabar.
Pada akhirnya, Alif berhasil memperbaiki kondisi keuangannya dengan cara
menulis. Bahkan dengan hasil menulis itu, ia bisa mengirimkan sedikit uang bagi
keluarganya di kampung. Seiring berjalannya waktu, Alif tiba pada
keberuntungannya yang pertama dimana ia terpilih sebagai mahasiswa utusan dalam
program pertukaran belajar ke Benua Amerika. Alif memilih Negara Kanada. Di
sana ia tinggal bersama keluarga angkat. Mereka sangat dekat. Saat tiba waktu
Alif untuk kembali ke Indonesia, keluarga angkatnya di Kanada sangat sedih.
Namun Alif meninggalkan janji untuk mereka, kelak ia akan kembali ke Kanada.
Janji tersebut ditepatinya 11 tahun kemudian. Ia kembali berkunjung ke Kanada
bersama isterinya.
Novel Ranah 3 Warna ini sangat cocok dibaca mereka yang takut bercita-cita. Dan
kalaupun ada cita-cita, kita selalu mencemaskannya. Kisah Alif yang dikemas
apik dalam novel ini memberikan kita paradigm kuat bahwa cita-cita harus selalu
dikejar bagaimanapun caranya. Dan yang paling penting adalah mengawinkan usaha
dengan kesabaran. Sebab, boleh jadi hasil kerja keras kita tidak nampak di awal
tetapi di akhir. Jika di tengah jalan kita memtuskan menyerah, maka rugi
besarlah kita.
Dari segi bahasa, penulisan novel ini cukup baik. Penulisnya cerkas dan tidak
suka menghambur-hamburkan kata. Meski demikian, alur cerita tetap berjalan apa
adanya tanpa terkesan buru-buru atau sebaliknya, terlalu lambat. Novel motovasi
ini sangat cocok Anda hadiahkan bagi anak-anak agar semangatnya mengejar
cita-cita bisa lebih kuat lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar